Dear mbak Melly, dkk yb.
maaf baru 'online' pagi ini. Begitu deh, sedang 'repot' konsentrasi rehabilitasi kesehatan badan, Memang secara alami pasti akan terjadi degradasi dungsi tubuh, entah energinya ataupun metabolisme tubuh secara umum. Saya sih sadar banget namun bagus sekali klo terus berusaha FIT ya dgn skala umur yang nyata. Hehehe.
Sebenarnya saya mejadi seperti ini seperti juga anak/orang lain, banyak pengaruh ortu khususnya ibu. Saya dilahirkan awal bulan Jan 1945 - jadi masih 'Jaman -penjajahan- Jepang'. Spt diketahui hidup saat itu sangat sulit (terutama sulitnya mendapatkan apa pun terutama bahan pangan. Waktu itu terkenal orang memakai pakaian dari karung goni, dst. dst. Ibu saya yang 'super' rajin (sekarang sdh usia 95 thn +) dengan 7 anak itu - ingin agar nutrisi anak-2nya tercukupi, maka beliau menerapkan "sistim ecofarming' di sekitar rumahnya yg e\kebetulan berhalaman sangat luas di pinggiran kota Banyuwangi (desa 'Krikilan?).
Selain beternak ayam, memelihara burung (kesukaan alm ayah kami), beliau menanam berbagai jenis sayur mayur, tanaman obat dan tanaman hias (kesukaan beliau pada bunga melati,gerbera, margriet, sedap malam, kenanga, dll) . Beliau membuat 'joglangan' (ukuran sktr dalam 1-1,5, panjang dan lebar 2 meteran)/alias lubang sampah terbuka yang dialiri air limbah bekas cucian (dulu belum ada deterjen tentunya) dan sampah-2 dapur serta dedaunan ke dalamnya. Di sekitarnya (tepian lubang) ditanami pohon jeruk nipis, daun keladi, daun dilem, beluntas, dll.
'Kebun' itu dikelolanya sendiri. Akhirnya saking banyak hasilnya, maka para tetangga pun ikut menikmati: tomat, kacang panjang, sawi, bayam, kangkung, berbagai macam cabai, dan bumbu-2an seperti lengkuas, jahe, kencur, kunci, sere, kunyit, dll.
Saya sangat ingat sebab beliau terus melanjutkan 'pekerjaan' rumahtangga itu sampai saya SMA (19 tahun selesai) di lahan luas rumah kami di pojok jln buntu PG Djatioroto- beliau tetap meneruskan 'hobby' nya itu walau lahannya relatif sudah tidak seluas di Banyuwangi, bahkan ada sekitar 3 kolam ikan (mujair) di mana tepi-2annya ditanami kangkung dan bayam. Ditengahnya ditanam tan hias perairan, seperti Cyperus payrus, Typha domingensis, dll. Mengapa mereka yang kebetulan punya halaman luas dalam kondisi lingkungan semacam (bahkan lebih buruk) saat ini tidak pula berbuat semacam ibu saya dengan menanami halaman dgn sistim taman lansekap halaman rumah, meski tak persis sama, tetapi tetap dgn menerapkan 'ecofarming' tsb?.
Sejak bulan Feb lalau dimulai oleh pengusaha property Springhill di Kemayoran telah memulai gerakan 'JKT Berkebun' yang segera 'direplikasi' olehbeberapa kotabesar lain seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan banyak lagi. Di sekitar Jkt sendiri segera akan dilakukan di kawasan Bintaro, Cengkareng, dll, di atas lahan terbuka (idol) yang tersebar di selruh daerah Jabodetabek ini (tentu kondisi pencemaran tanahnya harus diperiksa dulu apakah sesuai untuk tanaman yg 'edible' terutama kangkung dan bayam yg sangat 'suka' menyerap logam).. Sejalan dgn kegiatan greenmap mungkin bisa berkolaborasi untuk menunjukkan arah di mana saja 'kebun-2 kota' (bagian RTH) itu berada. Siapapunbisa berperanserta untuk 'menyuburkan' lahan-2 terlantar sebagai sumber 'edible food' yang segar dan murah (mungkin malah gratis?) untuk peningkatan gizi masyarakat umumnya (???).
Jadi banyaklah yang bisa 'berbuat' (laksanakan) asal ada niat dan mau berkolaborasi. Tak perlu pusing-2 memikirkan sejak kapan 'kebiasaan atau adat hidup hijau' dll. Mari kita wujudkan bersama, seperti yang sudah dilakukan oleh Ridwan Kamil (arsitek terkenal) dkk dimulai di lahan kosong milik salah satu pengusaha permukiman tsb.
Rekan2 mohon maaf bila komentar ini menjadi berkepanjangan. Mumpung ada waktu dan sehat.
Salam hijau lestari, dan mari berkebun di mana saja asal 'bersih pencemar'.
Ning Purnomohadi
--------------------------
From: salomo marbun To: greenlifestyle@googlegroups.com
Sent: Thursday, April 14, 2011 5:51 PM budaya ramah lingkungan = budaya negara maju?
Mbak Mely dan teman-teman,
Wahh itu pertanyaan bagus sekaligus membingungkan dan menyedihkan.
Isu lingkungan hidup saat ini seringkali diidentikkan dengan gerakan orang kota (entah yang miskin, sedang-sedang, kaya atau kaya banget). Atau seringkali hanya jadi gimmick marketing suatu produk (makanya jadi rame dan seakan-akan isu baru).
Sepertinya masih banyak orang seperti beliau yang menyampaikan pertanyaan seperti itu. Dia tidak salah, karena dia nggak tahu (emangnya saya tahu? hehehehe).
Menurut saya, gerakan hidup bersih dimulai sejak kita dibesarkan oleh orangtua atau siapa pun yang bertumbuh dari kecil hingga saat ini. Mulai dari cuci tangan, membersihkan bagian tubuh setelah buang air (besar/kecil a.k.a cebok), menggunakan dan membersihkan toilet dll. Dari pengalam hidup kita masing-masing secara sadar dan meyakinkan, kita sudah mulai bergelut dengan isu lingkungan hidup. Isu-isu global warming dll kan sekarang adalah isu kantoran dan isu dagangan yang sangat menarik, bisa diperdagangkan (sekalian cuci uang haram) dan alat politik.
Namun walau isu lingkungan jadi ajang cuci dosa negara-negara kaya dan orang-orang rakus, banyak sekali orang-orang yang dengan niat tulus untuk mempromosikannya pada banyak orang lain. Alangkah bahagia dan hebatnya orang-orang yang punya dedikasi untuk menggalang dukungan dan memberi contoh untuk mencintai lingkungan dengan BERBUAT.
Hanya saja kenapa orang-orang baik ini harus mau susah cuap-cuap dan mengubah paradigma hingga tingkah lakunya untuk membantu mengurangi risiko kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh para pembohong serakah yang punya tampang manis, pintar, shaleh, rapih, bermanfaat bagi masyarakat dan kaya. Bukankah kemajuan diukur oleh hal-hal nampak seperti demikian? Begitu pun negara maju...
Mari kita bertanya sekaligus mengapresiasi teman-teman yang sudah berusaha untuk menyelamatkan lingkungan (sekitar) kita. Siapa tahu niat, kemampuan dan kesempatan buat teman-teman akan terbuka untuk hal itu.
Salam hangat dari pojok dunia, Salomo Marbun
Wahh itu pertanyaan bagus sekaligus membingungkan dan menyedihkan.
Isu lingkungan hidup saat ini seringkali diidentikkan dengan gerakan orang kota (entah yang miskin, sedang-sedang, kaya atau kaya banget). Atau seringkali hanya jadi gimmick marketing suatu produk (makanya jadi rame dan seakan-akan isu baru).
Sepertinya masih banyak orang seperti beliau yang menyampaikan pertanyaan seperti itu. Dia tidak salah, karena dia nggak tahu (emangnya saya tahu? hehehehe).
Menurut saya, gerakan hidup bersih dimulai sejak kita dibesarkan oleh orangtua atau siapa pun yang bertumbuh dari kecil hingga saat ini. Mulai dari cuci tangan, membersihkan bagian tubuh setelah buang air (besar/kecil a.k.a cebok), menggunakan dan membersihkan toilet dll. Dari pengalam hidup kita masing-masing secara sadar dan meyakinkan, kita sudah mulai bergelut dengan isu lingkungan hidup. Isu-isu global warming dll kan sekarang adalah isu kantoran dan isu dagangan yang sangat menarik, bisa diperdagangkan (sekalian cuci uang haram) dan alat politik.
Namun walau isu lingkungan jadi ajang cuci dosa negara-negara kaya dan orang-orang rakus, banyak sekali orang-orang yang dengan niat tulus untuk mempromosikannya pada banyak orang lain. Alangkah bahagia dan hebatnya orang-orang yang punya dedikasi untuk menggalang dukungan dan memberi contoh untuk mencintai lingkungan dengan BERBUAT.
Hanya saja kenapa orang-orang baik ini harus mau susah cuap-cuap dan mengubah paradigma hingga tingkah lakunya untuk membantu mengurangi risiko kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh para pembohong serakah yang punya tampang manis, pintar, shaleh, rapih, bermanfaat bagi masyarakat dan kaya. Bukankah kemajuan diukur oleh hal-hal nampak seperti demikian? Begitu pun negara maju...
Mari kita bertanya sekaligus mengapresiasi teman-teman yang sudah berusaha untuk menyelamatkan lingkungan (sekitar) kita. Siapa tahu niat, kemampuan dan kesempatan buat teman-teman akan terbuka untuk hal itu.
Salam hangat dari pojok dunia, Salomo Marbun
It is possible to fail in many ways...while to succeed is possible only in one way.
Aristotle (384 BC - 322 BC), Nichomachean Ethics
Aristotle (384 BC - 322 BC), Nichomachean Ethics
From: armely meiviana ameiviana@gmail.comSent: Thu, April 14, 2011 12:25:17 PM
budaya ramah lingkungan = budaya negara maju?
met siang, mumpung lg istirahat makan siang...ngobrol2 dl yuk :-)
beberapa hr y.l sy mendapat pertanyaan, "sebenarnya mulai kapan gaya hidup ramah lingkungan di indonesia ini muncul?"
sdh bisa ditebak...sang penanya berpikir bhw gaya hidup hijau adl sesuatu yg baru2 saja di mulai di indo. bahwa isu lingkungan adl isu yg dimulai dari negara2 maju. tapi apa iya begitu? budaya ramah lingkungan = budaya negara maju?
bukankah di indonesia yg kaya akan berbagai suku dan adat istiadat punya banyak kearifan lokal yg menunjukkan pandangan nenek moyang (yg belum kenal sekolah) bahwa alam itu adalah penopang hidup manusia?
bukankah gaya hidup ramah lingkungan yg skrg dikampanyekan oleh negara2 maju adl gaya hidup yg dijalani oleh nenek-kakek kita dulu? menanam sesuai musim, menanam pohon utk kebutuhan anak-cucu, menggunakan pupuk kandang & pestisida alami, mengkompos, mengkonsumsi berbagai hal dgn cara hemat, membuat rmh dari bambu, membuat obat tradisional, menggunakan pewarna alami, menggunakan tas belanja, dll.
bgmana menurut pendapat kawan2? kemana semua kebiasan hidup itu hilang?
masih adakah yg pernah mengalami dan bahkan masih mempraktekkan budaya turun temurun dari leluhurnya?
jgn lupa ya mkn siangnya klo dibungkus, jgn pakai styrofoam & kresek & air dgn gelas plastik :-) tabik!
-----------------------