Saturday, 8 January 2011

Re: [greenlifestyle] Intisari untuk greenlifestyle@googlegroups.com - 1 Pesan pada 1 Topik

Yes! Tiwul enak dimakan, 
kadang saya masih menemukannya di kawasan GBK, dimakan pakai kelapa parut dan gula. kalau ada tiwul mematikan, mungkin ketela yg dipakai membuatnya adalah ketela racun? yang daunnya hijau kecil-kecil dibanding daun ketela kebanyakan. atau bahkan mungkin karena tiwulnya sedikit dan harus dimakan ramai-ramai lalu kalaparan? 

kenapa di negeri kaya nan subur ini tikus2pun mati di lumbung padi?

salam,
mahar, 
sekjen gerakan kebangkitan nusantara 

2011/1/8 <greenlifestyle+noreply@googlegroups.com>

Grup: http://groups.google.com/group/greenlifestyle/topics

    nayla rachman <nayla810@yahoo.com> Jan 08 09:44AM +0800 ^
     
    Halo semua,cuma mw share aja....dulu wkt kecil ibu saya sering kasih saya sarapan tiwul....enak kok....dan bukan hal yang ironi.toh ekonomi keluarga kita jg bukan yg ke bawah tp ibu saya mengajarkan bahwa "ini loh tiwul,makanan tradisional,enak,coba deh"
    dan sampe skrg kl kebetulan ke pasar ada tiwul saya tetep beli juga begitu juga dengan ibu saya tetep suka makan tiwul  :)
     
    --- On Fri, 1/7/11, Shanty Syahril <sshanty@gmail.com> wrote:
     
    From: Shanty Syahril <sshanty@gmail.com>
    Subject: [greenlifestyle] Tiwul, apakah layak dimakan?
    To: greenlifestyle@googlegroups.com
    Date: Friday, January 7, 2011, 12:49 AM
     
    Tentu teman2 semua dengar tragedi ttg sekeluarga 6 org meninggal karena mengkonsumsi tiwul. Teriring doa untuk para korban, semoga amal ibadahnya diterima dan kesalahannya diampuni oleh Allah SWT.
     
    Kalo diperhatikan hampir semua media memberitakan dgn nada seakan tiwul bukan makanan yang layak. Misalnya: "Menu itu disuguhkan sejak dua minggu terakhir karena tak punya uang lagi untuk membeli bahan makanan yang layak."
     
     
    Terus terang saya merasa ada yang kurang pas dalam pemberitaan yang ada. Yang akibatnya bisa menyudutkan upaya diversifikasi pangan lokal. Tadinya saya sudah mau bertanya di milis ini. Tapi tadi pagi saya membaca artikel di bawah, yg menurut saya analisanya proporsional. Bagaimana menurut teman-teman, terutama teman2 yang bergerak di upaya diversifikasi pangan?
     
     
    salam,
    shanty
     
     
    Tiwul, Ironi Pangan dan Kemiskinanhttp://www.jasainternetmarketing.com/dompetdhuafa/2011/01/06/tiwul-ironi-pangan-dan-kemiskinan/
     
     
    Tiwul Maut, begitu beberapa media menyebut penyebab kasus
    meninggalnya enam anak pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah di Jepara,
    Jawa tengah, beberapa waktu lalu. Media menyebut, enam bersaudara itu
    meninggal karena diduga keracunan tiwul sebagai pengganti menu beras
    yang harganya semakin mahal. Dari kasus keluarga Jamhamid ini, kita
    menemukan dua hal. Masalah kemiskinan dan masalah pangan.
    Keluarga Jamhamid seperti dilansir di media termasuk keluarga tak
    mampu dengan banyak tanggungan. Jangankan untuk biaya pendidikan, untuk
    mencukupi kebutuhan makan saja dia sudah kewalahan. Jamhamid hanya
    bekerja sebagai buruh jahit dengan penghasilan sangat minim. Istrinya
    ikut menopang hidup dengan ngasak atau mencari sisa panen singkong dari kebun tetangga untuk dibuat gaplek dan tepung pati.
    Makin tingginya harga beras membuat bahan pokok itu kian jauh dari
    jangkauan keluarga Jamhamid. Seperti warga miskin lainnya, mereka
    memilih tiwul sebagai pengganjal perut. Tiwul dibuat dari gaplek buatan
    istrinya. Di masa duka itu, Siti mengalami ketakutan luar biasa, karena
    ada pemberitaan media yang memojokkannya, mengatakannya telah meracuni
    keenam anaknya. Ibarat sudah jatuh, Siti tertimpa tangga pula.
    Kemiskinan tak beranjak dari kehidupan keluarganya, disusul meninggalnya
    enam anggota keluarga secara hampir bersamaan. Derita bertambah lagi
    dengan pemberitaan media yang tak bijak mengabarkan tragedi "tiwul
    maut".
    Media massa mengangkat kasus keluarga Jamhamid dari Desa Jebol,
    Kecamatan Mayong, Jepara itu sebagai persoalan kemiskinan. Ada saja
    cerita derita anak bangsa di tengah keyakinan pemerintahnya bahwa angka
    kemiskinan berangsur menipis. Akan tetapi, tampaknya media kita juga tak
    cukup jeli melihat masalah tiwul. Tiwul dipersepsi sebagai makanan yang
    hanya dikonsumsi karena keterpaksaan karena tidak mampu membeli beras.
    Harga tiwul memang jauh lebih murah dari harga beras. Citra tiwul
    mewakili ketertinggalan. Tiwul dianggap tidak cukup bergengsi. 
    Pencitraan terhadap tiwul yang tidak setara dengan citra pangan beras
    rupanya punya sejarah. Suatu ketika di masa Presiden Soeharto, ada
    kebijakan swasembada beras yang mengajak petani menanam padi. Tanpa
    melihat keanekaragaman pangan Indonesia, kebijakan politik itu
    diterapkan pukul rata pada semua daerah.
    Semua petani "diwajibkan" menanam padi untuk kebutuhan swasembada
    beras. Alih-alih memenuhi swasembada beras, namun sejatinya kebijakan
    itu untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang selera lidahnya beras.
    Padahal tidak semua daerah mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Ada
    yang makan singkong, sagu, dan berbagai ubi-ubian. 
    Sekali lagi tiwul adalah bagian dari keanekaragaman pangan kita.
    Kasus keracunan tiwul di Jepara tidak bisa dihindari makin menyudutkan
    citra tiwul sebagai bagian dari keanekaragaman itu. Tiwul seakan-akan
    sebuah ironi pangan kita. Terlepas apa penyebab kematian anak-anak
    Jamhamid, yang jelas warga lain tetangga Jamhamid juga biasa
    mengkonsumsi tiwul. 
    Di beberapa daerah lain, tiwul menjadi santapan sehari-hari warga.
    Seperti di Pacitan, Trenggalek, Wonogiri, Lampung, dan daerah lainnya,
    tiwul bisa menjadi pilihan atau selingan menu pengganti nasi. Warga juga
    menyukai tiwul sebagai penganan atau jajanan pagi yang mudah ditemui di
    pasar-pasar tradisional. 
    Tiwul tak hanya bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional, namun kini
    pasar swalayan juga mulai menawarkan tiwul instan. Salah satu produsen
    yang menyediakan tiwul instan bisa ditemui di Desa Tambah Subur,
    Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur. Di daerah ini dijalankan program
    pemberdayaan petani singkong dan usaha turunan oleh Masyarakat
    Mandiri-Dompet Dhuafa. 
    Kelompok Jaya Makmur hampir setahun ini membuat tiwul instan.
    Prakarsa produksi tiwul instan ini tak lepas dari budaya dan sejarah
    warga Desa Tambah Subur. Warga transmigrasi dari Jawa mulanya menanam
    singkong saja sebelum datangnya kebijakan politik menanam padi. Praktis
    warga akrab dengan tiwul sebagai makanan pokok. Namun, dominasi nasi
    membuat warga menjadikan tiwul hanya sebagai menu selingan saja. 
    Faktanya, tak ada orang sakit karena makan tiwul. Bahkan, tiwul cocok
    dikonsumsi para penderita diabetes. Ragam pangan berikut ini memang
    dianjurkan sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes. Singkong,
    beras merah, kentang, talas, ubi jalar, dan beberapa jenis lainnya
    mengandung karbohidarat kompleks yang mudah diserap tubuh. Tidak sedikit
    konsumen dan orang-orang dari luar Desa Tambah Subur menjadi
    langganannya. Beberapa di antaranya mengaku memiliki anggota keluarga
    yang menderita diabetes.
    Ikhtiar inovatif para petani singkong untuk membuat tiwul instan itu
    tak lepas dari kerinduan akan tiwul yang sebagian warga sudah
    meninggalkannya. Kerinduan ini bisa mewakili kecintaan anak negeri ini
    pada keanekaragaman pangan kita. Keanekaragaman ini adalah potensi. Dan
    tiwul, tentu bukan ironi. [hery d. kurniawan]
     
     
     
     
    --
     
    You received this message because you are subscribed to the Google Groups "GreenLifestyle" group - Share this email!
     
    To post to this group, send email to greenlifestyle@googlegroups.com
     
    To unsubscribe from this group, send email to greenlifestyle-unsubscribe@googlegroups.com
     
    For more options, visit this group at http://groups.google.com/group/greenlifestyle?hl=id

     

--
You received this message because you are subscribed to the Google Groups "GreenLifestyle" group - Share this email!
To post to this group, send email to greenlifestyle@googlegroups.com
To unsubscribe from this group, send email to greenlifestyle-unsubscribe@googlegroups.com
For more options, visit this group at http://groups.google.com/group/greenlifestyle?hl=id

--
You received this message because you are subscribed to the Google Groups "GreenLifestyle" group - Share this email!
To post to this group, send email to greenlifestyle@googlegroups.com
To unsubscribe from this group, send email to greenlifestyle-unsubscribe@googlegroups.com
For more options, visit this group at http://groups.google.com/group/greenlifestyle?hl=id