Kurtubi, Pengamat Migas
Rabu, 18 April 2012
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah dinilai kehilangan akal sehat (common sense) dengan menjadikan kapasitas mesin kendaraan (cc) sebagai ukuran keadilan dalam pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mekanisme pembatasan konsumsi BBM bersubsidi itu dinilai sudah melanggar hak konstitusional tiap warga negara. "Hak konstitusional tiap warga negara justru dipilah-pilah berdasarkan ukuran cc mobil. Bagaimana menjelaskan kepada masyarakat yang punya beberapa mobil dengan cc rendah maupun tinggi, masuk kelompok apa mereka?" kata pengamat energi yang juga Direktur Lembaga Bantuan Teknologi Prasetyo Sunarso di Jakarta kemarin. Dia pun lantas mempertanyakan apakah rencana pelarangan pemakaian BBM bersubsidi kelak akan diikuti dengan larangan pembelian mobil cc kecil bagi orang yang dikategorikan kaya. "Banyak wacana yang tidak masuk akal dari pemerintah," ujarnya. Ia meminta pemerintah tetap berfokus menjalankan program pengalihan pemakaian BBM ke bahan bakar gas untuk menekan kekhawatiran membengkaknya subsidi energi ke depan. Menurut pengamat migas Kurtubi, langkah untuk menurunkan subsidi untuk energi melalui konversi dari BBM ke BBG, khususnya di sektor transportasi, sudah mendesak. Apalagi jika dilakukan dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, maka akan sangat menguntungkan keuangan negara dan masyarakat secara luas. "Saya meminta pemerintah tidak meneruskan pembatasan pembelian BBM bersubsidi ini, tapi fokus ke konversi BBG yang lebih strategis. Membandingkan dengan negara lain, Indonesia sangat jauh tertinggal dalam penggunaan BBG di sektor transportasi," ujarnya. Negara-negara lain sudah beralih ke gas, seperti Argentina, Thailand, India, dan Brasil. "Di kawasan Asia, kita jauh tertinggal dalam penggunaan gas. Kita jalan di tempat karena pemerintah tidak pernah fokus," tuturnya. Kondisi ini, menurut dia, disebabkan ketiadaan keberpihakan atau dukungan (political will) yang kuat dari pemerintah. Misalnya, China yang memulai program itu sejak tahun 1996 dan kini sudah memiliki lebih dari 1.350 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Sedangkan Iran yang memulai program pada tahun 1995, saat ini telah memiliki 1.574 SPBG. Sementara Indonesia hingga 2010, hanya memiliki 10 SPBG. Ironisnya lagi, sebagian gas yang digunakan oleh China itu merupakan hasil produksi di Indonesia yang diekspor ke negara tersebut. "Stasiun pengisian gas Indonesia masih sedikit. Hal ini mungkin karena regulasi dan road map yang belum jelas, semuanya serba mengambang," tutur Kurtubi. Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo mengatakan, tanpa ada pembatasan pemakaian, maka kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta kiloliter bakal habis pada Oktober 2012. "Kalau tidak dibatasi, kuota BBM bakal mencapai 47 juta kiloliter. Oleh karena itu, kita usahakan dihemat sampai tujuh juta kiloliter," katanya. Ia menjelaskan, sejumlah upaya penghematan BBM bersubsidi yang bisa dilakukan yaitu pengalihan ke nonsubsidi dan gas, pembenahan transportasi umum, serta pemakaian alat penghematan. Sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012, kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar 40 juta kiloliter. Kuota BBM itu terdiri atas premium 24,411 juta kiloliter, solar 13,889 juta kiloliter, dan minyak tanah 1,7 juta kiloliter. Sedangkan pronosa 47,9 juta kiloliter terdiri atas premium 29,647 juta, minyak tanah 1,7 juta, dan solar 16,629 juta. Sementara itu, pemerintah akan mengeluarkan aturan berupa Peraturan Menteri ESDM sebagai payung hukum pelaksanaan pembatasannya pada April 2012 ini. Selanjutnya, pada Mei 2012, pembatasan BBM berlaku untuk kendaraan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, BUMN, dan BUMD di wilayah Jawa-Bali. Setelah 60 hari atau sekitar Juli 2012, pembatasan untuk masyarakat di wilayah Jabodetabek. Kemudian secara bertahap di wilayah Jawa-Bali sesuai dengan ketersediaan pertamax. Pengamat otomotif Suhari Sargo mengatakan, permintaan mobil 1.500 cc ke bawah atau 1.300 cc akan meningkat jika kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi diberlakukan. Penjualan mobil berkapasitas di atas 1.500 cc akan cenderung mengalami stagnasi. Menurut dia, pemerintah harus menyosialisasikan peraturan pembatasan BBM bersubsidi ini kepada para agen tunggal pemegang merek (ATPM). Hingga saat ini produsen dan pasar otomotif masih menunggu keputusan pemerintah tentang rencana pembatasan BBM bersubsidi, apakah diterapkan pada mobil berkapasitas mesin 1.300 cc ke atas atau 1.500 cc ke atas. "Selama ini, ATPM tidak menganjurkan konsumen untuk membeli BBM nonsubsidi pada kendaraan roda empat dengan cc tertentu. Pasalnya, konsumen mempunyai hak untuk mengonsumsi BBM bersubsidi maupun nonsubsidi. Namun, jika peraturan pembatasan tetap sesuai jadwal, maka pasar mobil untuk 1.300 cc akan tumbuh. Meski demikian, penjualan mobil juga tergantung pada pertumbuhan ekonomi," kata Suhari Sargo. Dia menjelaskan, pada dasarnya semua kendaraan roda empat lebih baik memakai BBM nonsubsidi. Namun pertimbangan ekonomi dan efisiensi, membuat sebagian masyarakat memilih menggunakan BBM bersubsidi. (A Choir/Bayu) Sumber :Suarakarya
-- You received this message because you are subscribed to the Google Groups "GreenLifestyle" group - Share this email!
To post to this group, send email to greenlifestyle@googlegroups.com
To unsubscribe from this group, send email to greenlifestyle-unsubscribe@googlegroups.com
For more options, visit this group at http://groups.google.com/group/greenlifestyle?hl=id